Pagi ini, Gista tampak kaget mendapati diriku yang masih duduk-duduk di
ruang makan menikmati secangkir teh hangat. Gadis kecil yang berusia
empat tahun itu dengan polos mengucek matanya tidak percaya; melihat
ayahnya yang super sibuk ini masih bisa bersantai-santai di dalam rumah.
"Ayah, kenapa belum berangkat kerja?" gadis itu berlarian ke arahku,
menarik-narik tanganku tidak percaya; seolah-olah memastikan bahwa sosok
yang pagi ini dilihatnya bukan fatamorgana yang akan menghilang ketika didekati dan disentuh.
"Hari ini ayah cuti, sayang," aku tersenyum setelah tertawa dan membelai rambutnya yang berantakan.
"Cuti itu...," aku menggaruk kepalaku yang sebenarnya tidak gatal.
Kutatap kedua bola matanya yang mengingatkanku kepada ibunya sebelum
melnjutkan kalimatku. "Cuti itu berarti ayah tidak bekerja. Cuti itu
berarti, ayah akan pergi menemani Gista bermain seharian, melihat awan
di atas langit, makan siang bersama Gista, makan es krim, ikut
menggambar bersama Gista. Cuti adalah, ketika ayah akan bersabar
menunggu Gista bermain di taman, mengejar kucing, mengamati burung,
bermain dengan tanah sampai baju menjadi kotor, tanpa sedikitpun
berteriak 'Ayo cepat pulang! Ayah harus kerja!'"
Mata gadis kecil itu seolah bercahaya mendengarnya. Dia tersenyum dengan
amat lebar, sebelum memelukku dan berbisik kecil, "Kalau begitu,
alangkah bahagianya jika Ayah bisa cuti setiap hari."
***
Satu tahun ini, aku benar-benar merasa telah menjadi ayah yang jahat.
Kadang aku merasa kasihan dengan Gista, semenjak kematian istriku, dia
harus melewati hari-harinya bersama Ibuku yang semakin tua dan seorang
pembantu yang tinggal di rumah Ibu. Aku pernah ingin mengajak Ibu untuk
tinggal bersamaku, tapi wanita tua itu keras kepala, tidak mau
meninggalkan rumahnya. Sedang bagiku sendiri, amat berat untuk
meninggalkan rumah ini dan pindah ke rumah Ibu; lokasinya strategis dan
dekat dengan kantorku. Aku tak ambil pusing sebenarnya, sopirku selalu
bisa diandalkan untuk bolak-balik mengantar jemput Gista ke rumah Ibu.
Sejak kematian istriku, aku menjadi semakin gila kerja. Aku mencoba
untuk menyibukkan diriku dengan mengambil proeyek-proyek besar yang
ditawarkan kolega kerja, mencoba mengambil berbagai kesempatan lebih
besar untuk sebuah kepercayaan yang ditawarkan perusahaan. Semakin hari,
semakin sibuk, dan itu juga berarti aku semakin jauh dari putri semata
wayangku.
Aku bahkan nyaris tak pernah benar-benar bersama putriku ketika sedang
libur. Senyum tulus jarang terulas dari bibirku karena aku sudah terlalu
lelah. Aku tak pernah menatap kedua bola mata putriku lamat-lamat;
mengajakanya berbicara, berdiskusi, mendengarkan coletahannya, bercerita
kepadanya, atau bahkan sekedar mendongeng untuknya. Yang banyak keluar
dari mulutku adalah kalimat larangan dan perintah; 'Kunyah yang
cepat, Ayah mau kerja!', 'Main di luar, Ayah sedang sibuk!', 'Jangan
buat rumah berantakan!', 'Berhenti menangis atau Ayah tinggal di
rumah!'.
Semua itu berlangsung satu tahun belakangan, sampai Tuhan menegur
sekitar satu bulan yang lalu. Pembantu Ibuku, tanpa sengaja menumpahkan
air panas ke kaki kecil Gista. Maka hari itu, -untuk pertama kalinya
setelah kematian istriku- aku menangis tersedu, melihat Gista terbaring
di rumah sakit dengan kedua kaki di perban, mengerang kesakitan. Maka
hari itu, untuk pertama kalinya aku benar-benar membenci diriku yang
lalai. Rasanya benar-benar sakit membayangkan bagaimana kedua kakinya
melepuh, kulit-kulit kakinya terkelupas dan berubah warna menjadi merah.
Boleh jadi, aku adalah Ayah terjahat sedunia.
Aku pernah kehilangan istriku, maka aku tak boleh sampai kehilangan
Gista juga. Aku memang kejam; merasa paling tersakiti sampai lupa bahwa
gadis kecilku sebenarnya terluka. Aku berubah. Menjadi lebih sering
duduk diam sendirian, memikirkan sesuatu, mengenang istriku, mengingat
Gista. Aku juga menjadi lebih sering membaca buku parenting, untuk mengetahui bagaimana menjadi 'single parent' yang sibuk bekerja. Aku sungguh menyayangi Gista, dan aku ingin dia tumbuh bahagia meski tanpa seorang Ibu.
Banyak hal yang berubah, salah satunya aku jadi lebih sering meluangkan
sedikit waktuku untuk sekedar mengobrol bersama Gista. Aku lebih sering
mengajaknya sarapan dan makan malam bersama, menelponnya di sela-sela
jam makan siangku dari kantor.
Aku menjadi semakin menikmati kebersamaanku bersama Gista. Dan betapa
akhirnya aku menyadari bahwa derai tawa dan teriakan girangnya itu; priceless.
***
Rasanya sudah lama tidak merasakan seperti ini. Tertawa dan menikmati
hari seharian tanpa sedetikpun mengingat segala urusan dan pekerjaan di
kantor. Kapan terakhir kali aku merasakan manisnya es krim coklat yang
lumer di tenggorokkan? Ah, semua itu tidak penting lagi. Yang jelas hari
ini, Gista benar-benar bahagia.
"Apa yang dibisikkan angin kepada ranting yang melepaskan daun itu untuk
jatuh?" tanyaku sambil menunjuk daun-daun kecoklatan pohon landen yang
terbang dibawa angin di sebrang jalan sana.
Gista mengernyutkan keningnya, tidak mengerti; dia bahkan tak tahu apa maksudku.
"Memang angin itu bisa berbicara? Mengapa Gista tak pernah bisa mendengar suaranya?"
Aku tertawa keras sekali. Putriku memang pintar dan kritis. Dia tidak
mudah percaya dengan apa yang didengarnya begitu saja, dia amat suka
mencari penjelasan yang lebih baik.
"Bisa dong! Hanya cinta seseorang Ayah yang bisa mendengar bisikkan angin yang berhembus!" kuacak rambut Gista dengan gemas.
"Kalau begitu, Gista mau cinta dari seseorang Ayah. Gista juga ingin mendengar cerita yang disampaikan angin!"
Aku tak menjawab pertanyaanya. Kuangkat tubuh kecilnya, seolah-olah
melemparnya ke atas udara. Kuajak tubuhnya itu berputar, merasakan angin
yang membuat rambut panjangnya beterbangan menutupi wajahnya. Duniaku
amat indah, saat kudengar gelak tawanya memenuhi telingaku. Tentu, sayang. Apapun. Untukmu. Bahkan sebelum kau dilahirkan ke bumi ini, aku sudah bersumpah untuk mencintaimu, Gista.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar