Pengikut

Jumat, 22 November 2013

RINDU Itu Pun Tertembus

Seorang pemuda berumur 15 tahun, dia telah ditinggalkan oleh ayahnya – seorang bangsawan yang kaya raya, sehingga memperoleh harta warisan yang sangat banyak
Pada suatu hari dia mengikuti majlis pengajian yang diadakan oleh Syaikh Abdul Wahid. Dalam majlis itu ada seorang jamaah pengajian yang membaca surah At-Taubah ayat 111, “… sungguh Allah telah membeli diri orang mu’minin, jiwa dan harta mereka dengan jannah.”
http://ervakurniawan.files.wordpress.com/2009/11/al-quran-21.jpg

Lalu pemuda tadi bertanya, “Yaa, Abdul Wahid! Sungguhkah Allah telah membeli dari qaum mu’minin jiwa dan harta mereka dengan jannah?”
“Ya! Benar wahai anakku tercinta”.
Lalu ia berkata,”Yaa Abdul Wahid, saksikanlah bahwa aku telah menjual diri dan hartaku untuk mendapatkan jannah!”
“Wahai anakku! Sesungguhnya tajamnya pedang itu berat dihadapi, dan kau masih anak-anak. Aku khawatir kalau-kalau engkau tidak tabah, tidak sabar sehingga tidak kuat melanjutkan perjuangan ini.” Kata Abdul Wahid.
Pemuda itu menjawab, “Aku menjual diri kepada Allah untuk mendapatkan jannah lalu lemah? Saksikanlah sekali lagi bahwa aku telah menjual diriku kepada Allah!”
Maka pemuda itu segera men-shadaqah-kan semua hartanya kecuali kuda dan pedangnya, dan sekedar harta untuk bekalnya. Dan ketika telah tiba pada masa keberangkatan pasukan, maka dialah yang pertama-tama tiba dan mengucapkan, “Assalaamu’alaika yaa Abdul Wahid.”
“Wa’alaikumussalaam warahmatullahi wabarakatuh, semoga Allah memberikan keuntungan dalam jualanmu”.
Dalam perjalanan, pemuda itu selalu shaum di waktu siang dan bangun di waktu malam, menjaga pasukan, serta melayani keperluan-keperluan pasukan. Bahkan dia merangkap memelihara ternak-ternak pasukan, sehingga sampailah pasukan muslimin tersebut di perbatasan Negeri Ruum.
Menjelang pertempuran, pasukan tersebut beristirahat di suatu tempat. Karena lelah pemuda tersebut jatuh tertidur. Namun tiba-tiba dia terjaga dan berseru lirih, “Ah! Alangkah rindunya aku pada ‘Ainul Mardhiyah.” Orang-orang yang mendengarnya terheran-heran dan mengira pemuda itu mengingau.
Maka Abdul Wahid mendekat, “Wahai anakku! Siapakah ‘Ainul Mardhiyah itu?”
Pemuda itu kemudian bertutur :
Aku tadi tertidur sebentar, tiba-tiba aku bermimpi ada orang yang datang kepadaku dan berkata, “Mari aku bawa kamu kepada ‘Ainul Mardhiyah”.
Lalu aku dibawa ke suatu kebun di tepi sungai yang airnya jernih segar, dan di sana banyak gadis-gadis cantik yang lengkap dengan perhiasannya – yang tidak dapat aku katakan.
Ketika melihat kepadaku, mereka gembira dan berkata, “Itulah suami ‘Ainul Mardhiyah!” Kemudian aku ucapkan, “Assalaamu’alaikum, apakah di sini tempatnya ‘Ainul Mardhiyah?” Mereka menjawab, “KAmi hanyalah hamba dan pelayannya, teruslah berjalan ke depan”.
Aku meneruskan perjalanan. Tiba-tiba bertemu dengan sungai susu yang tidak berubah rasanya di tengah-tengah taman tersebut, yang juga dikelilingi oleh gadis-gadis yang sangaat cantik lengkap dengan perhiasannya. Ketika mereka melihat kepadaku langsung berseru, “Demi Allah! Itu suami ‘Ainul Mardhiyah sudah tiba”. Lalu aku memberi salam, “Assalaamu’alaikum! Apakah diantara anda ada yang bernama ‘Ainul Mardhiyah?”. Mereka menjawab, “Kami hanyalah hamba dan pelayannya. Silahkan berjalan terus…”
Aku pun meneruskan perjalanan. Tiba-tiba di suatu lembah aku bertemu dengan sungai anggur yang digunakan sebagai tempat bersuka ria oleh gadis-gadis yang sangat cantik molek. Begitu cantiknya, sehingga aku lupa pada kecantikan gadis-gadis sebelumnya. Lalu aku memberi salam, “Assalaamu’alaikum! Apakah diantara anda ada yang bernama ‘Ainul Mardhiyah?”. Mereka menjawab, “Tidak! Kami hanyalah hamba dan pelayannya. Teruslah tuan berjalan ke depan…”
Lalu aku pun meneruskan perjalanan. Tiba-tiba aku bertemu dengan sungai madu dan kebunnya penuh dengan gadis-gadis cantik, yang kecantikannya bagaikan cahaya. Maka aku ucapkan salaam, “Assalaamu’alaikum! Apakah di sini ada ‘Ainul Mardhiyah?” Mereka menjawab, “Yaa Waliyallah, kami hamba dan pelayannya. Majulah terus…”
Dan ketika aku berjalan lagi tiba-tiba melihat sebuah bangunan dari permata yang berlubang. Di depan bangunan itu ada seorang gadis yang menjaga pintu yang sangaaatt cantik lengkap dengan perhiasannya. Aku mengira inilah ‘Ainul Mardhiyah. Ketika gadis itu melihatku, ia begitu gembira dan berseru, “Wahai ‘Ainul Mardhiyah! Inilah suamimu telah datang!” Dugannku ternyata keliru, akupun dipersilahkan masuk oleh gadis tersebut.
Aku langsung masuk ke bangunan itu. Dalam sebuah ruangan, aku melihat seorang gadis yang sedang duduk di atas tilam yang bertaburkan permata, yaqut, dan berlian. Dan ketika melihatnya, aku benar-benar terpesona karena begitu cantiknya.
“Marhaban wahai kekasihku…! Hampir tiba pertemuan kita…”, sambutnya dengan senyum yang sangaaaatt manisss. Ingiiinnn sekali aku mendekapnya…
“Shabar dulu! Engkau belum resmi menjadi suamiku, karena engkau masih di dunia. Insya Allah, malam ini engkau akan berbuka di sini…”
… kemudian aku terbangun dari tidurku. Aku tersadar bahwa itu hanya mimpi. Wahai Abdul Hamid, rasanya aku sudah tidak sabar lagi…
Tiba-tiba terlihat pasukan musuh. Maka genderang perang pun ditabuh bertalu-talu. Pemuda tersebut lantas berlari menyambut musuh bersama-sama dengan pasukan muslimin yang lain.
Ketika berhadapan dengan pasukan musuh, langsung diayunkan pedangnya sambil terus merangsak maju menyerbu. Terhitung sembilan pasukan musuh roboh seketika. Pada hitungan kesepuluh, sebilah pedang telah mendahuluinya. Pemuda tersebut roboh berlumur darah. Dia meninggal dunia dengan tersenyummm. Kerinduan itupun akhirnya tertembus…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar